Pemanfaatan Limbah Karet

Pemanfaatan Limbah Karet

Cardozo E., Erlich C., Alejo L., Fransson T. H., 2016, Comparison of the thermal power availability of different agricultural residues using a residential boiler, Biomass Conv. Bioref,. 4, 1-13.

Colantoni A., Paris E., Bianchini L., Ferri S., Marcantonio V., Carnevale M., Palma A., Civitarese V., Gallucci F., 2021, Spent cofee ground characterization, pelletization test and emissions assessment in the combustion process, Scientific Reports, 11, 1-14.

Emília H., Juraj L., Ján V., Ladislav D., 2016, Combustion of biomass fuel and residues: emissions production perspective, Developments in Combustion Technology, 1, 1-32.

Groscurth H., Almeida A., Bauen A., Costa F., Ericsson J., Giegrich J., 2000, Total costs and benefits of biomass in selected regions of the European Union, Energy, 25, 1081–95.

Horvat I., dan Dović D., 2018, Combustion of agricultural biomass – issues and solutions, Transactions of Famena XlII-Special issue, 1, 75-86.

Irish Bioenergy Association, 2017, Project report for biomass combustion emissions study, 1-156.

Marangwanda G.T., Madyira D.M., Babarinde T.O., 2020, Combustion models for biomass: a review, Energy Reports, 6, 664–67.

Mitchell E. J. S., 2017, Emissions from residential solid fuel combustion and implications for air quality and climate change, Dissertation, University of Leeds, 1-361.

Reinoso M. J. V., Pinna H. M. G., Fernández F. M. D., Sánchez M. J. A., López H. J. C., Acién F. F. G., 2021, Boiler combustion optimization of vegetal crop residues from greenhouses, Agronomy, 11, 626

Tillman D, 2000, Biomass co-firing: the technology, the experience, and the combustion consequences, Biomass and Bioenergy, 19, 365–84.

US Department of Energy, 1997, Renewable energy technology characterizations.

Vamvuka D., Loukeris D., Stamou E., Vlasiadis A., Sfakiotakis S., Bandelis G., 2020, Development and performance of a multi-fuel residential boiler burning agricultural residues, Front. Energy Res., 8,136.

Varnero C. S., dan Urrutia M. V., 2017, Power form agripellets, Frontiers in Bioenergy and Biofuels, 465-480.

Wei H. C., Bo J. L., Yu Y. L., Yen S. C., Aristotle T. U., Pau L. S., Hwai C. O., Jo S. C., Shih H. H., Alvin B. C., Anélie P., Mathieu P., 2021, Progress in biomass torrefaction: Principles, applications and challenges, Prog. in Ener. and Comb. Sci. 82, 100887.

Yulianto M., Agustina S. E., Hartulistiyoso E., Oscar L., Nelwan, Nurlela, 2017, Study of temperature characterization of agricultural waste in the development of stove for combine heat power, AIP Conference Proceedings, 1826, 1-9.

[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2010. Roadmap Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta

Gusmailina. 2007. Pembuatan Arang dan Arang Kompos dari Limbah PLTB (Penyiapan Lahan Tanpa Bakar). Makalah materi pada Gelar Teknologi Penyiapan Lahan Tanpa Bakar, 29 November 2007 di Kemampo, Banyuasin, Sumatera Selatan.

Kartasujana dan Martawijaya. 1973. Sifat dan Kegunaan Kayu Perdagangan Indonesia. Lembaga Penelitian Hasil Hutan, Bogor

Mandika, D., A. Sapta, dan R.K. Sari. 1989. Selintas Tentang Kayu Karet. hlm. 373−379.Prosiding Lokakarya Nasional HTI Karet, Medan, 28−30 Agustus 1989. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan.

Nurhayati, T. 1995. Pembuatan Arang Kayu Karet (Hevea brasiliensis) Pada Tungku Kubah Model S-93. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13 (1) : 37-44

Nurhayati T. 1999. Pemanfaatan Destilat dari Hasil Sampingan Karbonisasi Kayu untuk Pengendalian Hama yang Akrab Lingkungan. Laporan Proyek Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor

Nurhayati, T. R.A. Pasaribu, D. Mulyadi. 2006. Produksi Pemanfaatan Arang dan Cuka Kayu dari Serbuk Gergaji Kayu Campuran. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol. 24 No. 5, Oktober 2006. Bogor.

Nurhayati, T. 2000. Sifat Destilat Hasil Destilasi Kering 4 Jenis Kayu dan Kemungkinan Pemanfaatannya Sebagai Pestisida. Buletin Penelitian Hasil Hutan 17(3) :160-168. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor

Limbah karet ban bekas dapat digunakam sebagai aditif untuk meningkatkan sifat reologi aspal propan. Aspal propan ini diperoleh dari unit propane deasphahing pada kilang minyak UP IV PERTAMINA Cilacap. Aspal propan memiliki penetrasi 1 dmm, titik lembek 60.5 °C, dan daktilitas 1.7 cm. Ketiga sifat yang dimiliki ini belum memenuhi spesifikasi standar PERTAMINA.

Proses pencampuran karet ban bekas dengan aspal propan yang dilakukan melalui empat tahap, yaitu preparasi aspal propan meliputi pemanasan aspal hingga mencair, preparasi karet ban bekas yang meliputi pemanasan karet ban bekas hingga meleleh pada temperatur 300 °C, proses pencampuran, dan proses pengujian sampel yang meliputi pengujian penetrasi, titik lembek, dan daktilitas. Dari tiga variasi yang dilakuakan, yaitu komposisi karet ban bekas (10, 15, dan 20%wt), waktu pengadukan (1, 2, dan 3 jam), temperatur pengadukan (180, 200, dan 220°C), tidak diperoleh aspal dengan kualitas yang memenuhi syarat khususnya untuk meningkatkan titik lembek. Oleh karena itu ditambahkan mafeic anhydride agar terjadi polimerisasi yang menyebabkan ikatan dalam aspal menjadi kuat dan rantai molekul dalam aspal menjadi lebih panjang. Maleic anhydride yang ditambahkan bervariasi yaitu l, 3, dan 5%wt.

Komposisi yang tepat untuk meningkatkan kualitas aspal propan dengan penetrasi 61dmm, titik lembek 51°C, dan daktilitas +100 cm, dapat diperoleh dengan mencampur aspal propan sebanyak (80%wt), pelumas bekas (20%wt), karet ban bekas (15% dari total berat aspal propan + pelumas bekas), maleic anhydride (3% dari total berat aspal propan -F pelumas bekas + karet ban bekas) dan HCI (0.05% dari total berat aspal propan + pelumas bekas) pada kondisi operasi temperatur pengadukan 220°C, waktu pengadukan selam 1 jam, dan adanya aliran udara untuk mengoksidasi campuran aspal.

© 2024 — Senayan Developer Community

Haluti, S. &. (2015). Pemanfaatan Potensi Limbah Tongkol Jagung Sebagai.Briket arang melalui Karbionisasi di wilayah Propinsi Gorontalo

Surmaini. (2017). Perubahan Iklim DalKonteksSistem Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian.

Permana, A. D. (2014). Studi Pencacahan dan Pengomposan Ampas Tebu. Alfrojems & Anugrahini, 2. (2019). Pengentasan Kemiskinan Perdesaan.

Argandi, S. T. (2018). Faktor-faktor yang pola pangan Harapan (PPH) di kota Bandung

Sinurat, E. (2011). Studi Pemanfaatan Briket Kulit Jambu Mete dan Tongkol Jagung.

, L. (2008). Transformasi Mikropori ke Mesopori Cangkang Kelapa Sawit Terhadap.Nilai Kalor Bakar Briket arang cangkang kelapa sawit

Astawa, N. 2. (2019). 'Tetanus Generalisata dengan Jaringan Nekrotik Digiti III Pedis.

Kumalasari F., S. Y. (2011). Teknik Praktis Mengolah Air Kotor Menjadi Air.

Wahyudi. (2012). Bertanam Tomat di dalam Pot dan Kebun Mini. Agromedia.

Salafudin, I. (2021). 33 UKM di Karanganyar Dapat Bantuan Peralatan dari program peningkatan hasil peternakan.

Alfrojems & Anugrahini, 2. (2019). Pengentasan Kemiskinan Perdesaan.

Argandi, S. T. (2018). Faktor-faktor yang.

Astawa, N. 2. (2019). 'Tetanus Generalisata dengan Jaringan Nekrotik Digiti III Pedis.

Hidayat, A. T. (2019). Perancangan Sistem Informasi Dinas Pendapatan pengelolaan keuangan Aset Daerah kabupaten Muratara.

Pemanfaatan Limbah Kain Majun

Kain yang lebih dikenal dengan sebutan kain majun atau permadani ini memiliki fungsi yang sama dengan kain biasa. Sebutan kain  lebih banyak digunakan di industri. Kain Majun bisa dikatakan limbah pabrik atau sampah pabrik yang merupakan hasil  dari  proses pembuatan garmen. Sisa limbah  dari pabrik pakaian berbeda, ada yang bagus untuk membuat kain, ada juga yang  tidak terlalu sulit untuk dibuat.

Kain Majun biasanya terbuat dari bahan kaos katun.tersedia dalam berbagai  warna, warna solid dan tekstur admin, mampu menyerap air, minyak dan lemak. Ada beberapa jenis kain, seperti kain berlapis, kain terus menerus, dan kain  lembaran. PT. PRIA Surabaya dapat mengolah dan memanfaatkan limbah kain majun. Di sini kita akan membahas berbagai jenis kain dan fungsinya.

Kain Majun adalah kain  sisa dari pakaian yang belum melalui proses penjahitan. Kainnya dijual langsung, jadi ukurannya bisa berkisar dari  kecil hingga cukup besar.  Pengguna silang jenis  ini adalah bengkel, industri, atau bidang usaha yang berhubungan dengan bahan kimia. Harga kain  ini relatif murah dan lebih disukai untuk konsumsi ekonomis. Untuk menghilangkan kotoran berupa kotoran cukup menggunakan  kain  kecil.

Kain majun jahit warna lebarnya 25 x 25 sd 30 x 30 cm, dan 2 sd 3 lembar kain majun ditumpuk dan dijahit membentuk lingkaran agar kain majun saling menempel. Karena jahitannya melingkar, seperti spiral kecil, lalu melebar. Kain  jenis ini merupakan salah satu produk yang paling populer karena banyak digunakan di berbagai industri. Dengan lapisan kain yang berlapis-lapis, kain ini  sangat efektif  sebagai kain pembersih, terutama untuk membersihkan noda-noda besar, sehingga genangan minyak.

Kain majun putih untuk menjahit lebarnya 25 x 25 sd 30 x 30 cm. Saya menjahit sisa kain T-shirt menjadi  bentuk pita dan membuatnya. Meskipun harganya lebih mahal daripada menjahit kain acak atau kain putih, jenis kain  ini sangat populer karena pekerjaannya yang relatif bersih. Membersihkan lapisan dempul yang sudah diamplas sebelum dicat.

Kain majun campur adalah campuran kain  lebar 1-2 jari dan kain lebar 2-3 jari dalam tas 50kg. Kain majun putih tanpa jahitan adalah kain putih dengan bahan kaos  ukuran tertentu (tergantung  konveksi atau manufaktur garmen). Jenis kain ini dapat diperoleh dari limbah produksi atau sengaja dikerjakan menjadi panel kain. Karena bentuknya  lembaran yang mulus, harganya  lebih mahal dibandingkan jenis lainnya. Jenis kain ini sangat bagus untuk menghaluskan permukaan logam yang baru dicat.

Pemanfaatan Limbah Kain Majun – Tentang PT Pria Surabaya